BAB I
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Penyakit
hirschsprungs atau yang juga disebut
congenital megakolon, merupakan akibat tidak adanya sel ganglion dalam rectum
atau bagian usus besar (Corwin, Elizabeth J. 2008).
Penyakit
hirschsprungs adalah kelainan congenital yang mengakibatkan obstruksi mekanik dari
tidak memadainya motilitas pada bagian usus (Hockenberry,
Marilyn J, et al.
2003).
Hirschsprungs atau Mega Colon adalah penyakit
yang tidak adanya sel-sel
ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya
evakuasi usus spontan (Betz,
Cecily L, et.al.
2002).
B. Etiologi
Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung
atau Mega Colon itu sendiri adalah:
1.
Aganglionosis
Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai dari sfingter ani
internus ke arah proksimal, 70% terbatas di daerah rektosigmoid, 10% sampai
seluruh kolon dan sekitarnya, 5% dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus.
2.
Diduga terjadi karena faktor
genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan down syndrome.
3.
Kegagalan sel neural pada masa
embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan
sub mukosa dinding plexus.
C. Patofisiologi
Aganglionis
kongenital pada usus bagian distal merupakan pengertian penyakit Hirschsprung.
Aganglionosis bermula pada anus, yang selalu terkena, dan berlanjut ke arah
proximal dengan jarak yang beragam. Pleksus myenterik (Auerbach) dan pleksus submukosal (Meissner) tidak ditemukan, menyebabkan berkurangnya peristaltik
usus dan fungsi lainnya. Mekanisme akurat mengenai perkembangan penyakit ini
tidak diketahui.
Sel ganglion
enterik berasal dari differensiasi sel neuroblast. Selama perkembangan normal,
neuroblast dapat ditemukan di usus halus pada minggu ke 7 usia gestasi dan akan
sampai ke kolon pada minggu ke 12 usia gestasi. Kemungkinan salah satu etiology
Hirschsprung adalah adanya defek pada migrasi sel neuroblast ini dalam jalurnya
menuju usus bagian distal. Migrasi neuroblast yang
normal dapat terjadi dengan adanya kegagalan neuroblast dalam
bertahan, berpoliferase, atau berdifferensiasi pada segmen aganglionik distal.
Distribusi komponen yang tidak proporsional untuk pertumbuhan dan perkembangan
neuronal telah terjadi pada usus yang aganglionik, komponen tersebut adalah
fibronektin, laminin, neural cell adhesion molecule, dan faktor neurotrophic.
Sebagai
tambahan, pengamatan sel otot polos pada kolon aganglionik menunjukkan bahwa
bagian tersebut tidak aktif ketika menjalani pemeriksaan elektrofisiologi, hal
ini menunjukkan adanya kelainan myogenik pada perkembangan penyakit
Hirschspurng. Kelainan pada sel Cajal, sel pacemaker yang menghubungkan antara
saraf enterik dan otot polos usus, juga telah dipostulat menjadi faktor penting
yang berkontribusi.
Terdapat tiga pleksus neuronal yang menginnervasi usus, pleksus submukosal
(Meissner), Intermuskuler (Auerbach), dan pleksus mukosal. Ketiga pleksus ini
terintegrasi dan berperan dalam seluruh aspek fungsi usus, termasuk absorbsi,
sekresi, motilitas, dan aliran darah. Motilitas
yang normal utamanya dikendalikan oleh neuron intrinsik. Ganglia ini
mengendalikan kontraksi dan relaksasi otot polos, dimana relaksasi mendominasi.
Fungsi usus telah adekuat tanpa innervasi ekstrinsik. Kendali ekstrinsik
utamanya melalui serat kolinergik dan adrenergik. Serat kolinergik ini
menyebabkan kontraksi, dan serat adrenergik menyebabkan inhibisi.
Pada pasien
dengan penyakit Hirschsprung, sel ganglion tidak ditemukan sehingga kontrol
intrinsik menurun, menyebabkan peningkatan kontrol persarafan ekstrinsik.
Innervasi dari sistem kolinergik dan adrenergik meningkat 2-3 kali dibandingkan
innervasi normal. Sistem adrenergik diduga mendominasi sistem kolinergik,
mengakibatkan peningkatan tonus otot polos usus. Dengan hilangnya kendali saraf
intrinsik, peningkatan tonus tidak diimbangi dan mengakibatkan
ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik yang tidak
terkoordinasi, dan pada akhirnya, obstruksi fugsional. Penyakit
Hirschsprung adalah akibat tidak adanya sel ganglion pada dinding usus, meluas
ke proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai panjang yang bervariasi.
Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast
dari usus proksimal ke distal. Segman yang aganglionik terbatas pada
rektosigmoid pada 75% penderita; pada 10%, seluruh kolon tanpa sel-sel
ganglion. Bertambah banyaknya ujung-ujung saraf pada usus yang aganglionik
menyebabkan kadar asetilkolinesterase tinggi. Secara histologi, tidak
didapatkan pleksus Meissner dan Auerbach dan ditemukan berkas-berkas saraf yang
hipertrofi dengan konsentrasi asetilkolinesterase yang tinggi diantara
lapisan-lapisan otot dan
pada submukosa. (Betz, Cecily L, et.al. 2002).
D. Manifestasi Klinis
Penyakit megakolon ini sendiri
memiliki gejala klinis berupa obstipasi, obstruksi akut (baru lahir) dan yang terkena kebanyakan bayi
yang cukup bulan. Dan trias penyakit ini adalah mekonium terlambat keluar
(>24 jam), perut kembung, dan muntah berwarna hijau. Pada anak yang lebih
besar biasanya juga terjadi diare dan enterokolitis kronik.
Sembilan
puluh sembilan persen bayi lahir cukup bulan mengeluarkan mekonium dalam waktu
48 jam setelah lahir. Penyakit Hirschsprung harus dicurigai apabila seorang
bayi cukup bulan (penyakit ini tidak biasa terjadi pada bayi kurang bulan) yang
terlambat mengeluarkan tinja. Beberapa bayi akan mengeluarkan mekonium secara
normal, tetapi selanjutnya memperlihatkan riwayat konstipasi kronis. Gagal
tumbuh dengan hipoproteinemia karena enteropati pembuang protein sekarang
adalah tanda yang kurang sering karena penyakit Hirschsprung biasanya sudah
dikenali pada awal perjalanan penyakit. Bayi yang minum ASI tadak dapat
menampakkan gejala separah bayi yang minum susu formula.
Kegagalan mengeluarkan tinja menyebabkan dilatasi bagian
proksimal usus besar dan perut menjadi kembung. Karena usus besar melebar,
tekanan di dalam lumen meningkat, mengakibatkan aliran darah menurun dan
perintang mukosa terganggu. Stasis memungkinkan proliferasi bakteri, sehingga
dapat menyebabkan enterokolitis (Clostridium difficile, Staphylococcus
aureus, anaerob, koliformis) dengan disertai sepsis dan tanda-tanda
obstruksi usus besar. Pengenalan dini penyakit Hirschsprung sebelum serangan
enterokolitis sangat penting untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas.
Penyakit Hirschsprung pada penderita yang lebih tua harus
dibedakan dari penyebab perut kembung lain dan konstipasi kronis. Riwayat
seringkali menunjukkan kesukaran mengeluarkan tinja yang semakin berat, yang
mulai pada umur minggu-minggu pertama. Massa tinja besar dapat diraba pada sisi
kiri perut, tetapi pada pemeriksaan rektum biasanya tidak ada tinja. Tinja ini,
jika keluar, mungkin akan keluar berupa butir-butir kecil, seperti pita, atau
berkonsistensi cair; tidak ada tinja yang besar dan yang berkonsistensi seperti
tanah pada penderita dengan konstipasi fungsional. Pada penyakit Hirschsprung
masa bayi harus dibedakan dari sindrom sumbat mekonium, ileus mekonium, dan
atresia intestinal. Pemeriksaan rektum menunjukkan tonus anus normal dan
biasanya disertai dengan semprotan tinja dan gas yang berbau busuk. Serangan
intermitten obstruksi intestinum akibat tinja yang tertahan mungkin disertai
dengan nyeri dan demam.
1.
Pada
bayi
a. Tidak bisa mengeluarkan meconium (feses pertama) dalam
24-28 jam pertama setelah lahir.
b. Tampak malas mengkonsumsi cairan.
c. Muntah bercampur dengan cairan empedu.
d. Distensi abdomen.
e. Konstipasi
ringan entrokolitis dengan diare
f. Demam.
g. Adanya
feses yang menyemprot pas pada colok dubur merupakan tanda yang khas. Bila
telah timbul enterokolitis nikrotiskans, terjadi distensi abdomen hebat dan
diare berbau busuk yang dapat berdarah (Betz, Cecily L, et.al. 2002).
2.
Pada
anak-anak
a. Konstipasi.
b. Tinja seperti pita dan berbau busuk.
c. Distensi abdomen.
d.
Failure to thrive (gagal tumbuh).
e.
Nafsu makan tidak ada (anoreksia).
f. Adanya masa di fecal, dapat dipalpasi.
g. Biasanya
tampak kurang nutrisi dan anemia.
h. Letargi.
i. Infeksi kolon, khususnya anak baru
lahir atau yang masih sangat muda, yang dapat mencakup enterokolitis, infeksi
serius dengan diare, demam dan muntah dan kadang-kadang dilatasi kolon yang
berbahaya (Betz, Cecily L, et.al. 2002).
E. Komplikasi
Komplikasi
yang mungkin terjadi pada penderita hirscsprungs adalah obstruksi
usus, konstipasi, ketidak seimbangan cairan dan
elektrolit, entrokolitis, dan striktur
anal dan inkontinensial (pos operasi) (Betz, Cecily L, et.al. 2002).
F. Klasifikasi
Berdasarkan panjang segmen yang
terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu:
1.
Penyakit hirscprung pendek, yaitu
penyakit hirscprung dengan aganglionik mulai dari anus hingga sigmoid. Ini
adalah 70 % penyakit yg ditemukan dan sering terjadi pada anak laki-laki
dibanding anak perempuan.
2. Penyakit
hirscprung panjang, yaitu dengan aganglionik dapat melebihi sigmoid bahkan
dapat mengenai seluruh kolon atau usus halus. Ditemukan pada anak laki-laki dibanding anak
perempuan.
G. Pemeriksaan
Diagnostik
1.
Pemeriksaan laboratorium
Pada tahap awal, ditemukan hasil
laboratorium yang normal. Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi,
leukositosis dan nilai elektrolit yang abnormal. Peningkatan serum amilase
sering didapatkan. Leukositosis menunjukkan adanya iskemik atau
strangulasi, tetapi hanya terjadi pada 38%-50% obstruksi strangulasi dibandingkan
27%-44% pada obstruksi non strangulata.
Hematokrit yang meningkat dapat timbul pada dehidrasi. Selain itu dapat
ditemukan adanya gangguan elektrolit. Analisa gas darah mungkin terganggu,
dengan alkalosis metabolik bila muntah berat, dan metabolik asidosis bila tedapat tanda-tanda shock.
2.
Biopsi
Rectum
Biopsi merupakan tes paling
akurat untuk penyakit Hirschsprung. Pemeriksaan ini memberikan diagnosa
definitif dan digunakan untuk mendeteksi ketiadaan ganglion. Tidak adanya
sel-sel ganglion menunjukkan penyakit Hirschsprung.
3.
Colok dubur
Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada
waktu tertentu akan ada tinja yang menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu
bau dari tinja, kotoran yang menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah
dan akan terjadi pembusukan.
4.
Foto polos abdomen
Foto
polos abdomen dapat memperlihatkan loop distensi usus dengan penumpukan udara
di daerah rektum. Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada
penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran
obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus
dan usus besar.
5.
Barium enema
a.
Tampak daerah penyempitan di bagian
rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi.
b.
Terdapat daerah transisi, terlihat di
proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi.
c.
Terdapat daerah pelebaran lumen di
proksimal daerah transisi.
6.
Anal manometri (balon ditiupkan dalam
rektum untuk mengukur tekanan dalam rektum)
Pemeriksaan
manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif mempelajari fungsi fisiologi defekasi pada penyakit
yang melibatkan spinkter anorektal. Dalam prakteknya,manometri anorektal
dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis meragukan. Pada
dasarnya, alat ini memiliki 2 komponen dasar : transduser yang sensitif terhadap tekanan
seperti balon mikro dan kateter mikro, serta sisitem pencatat seperti poligraph atau komputer. Beberapa
hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah:
a.
Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi.
b.
Tidak dijumpai kontraksi peristaltik
yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik.
c.
Sampling reflex tidak
berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum akibat desakan
feces. Tidak dijumpai relaksasi spontan.
H. Penatalaksaan Medis
1. Pembedahan
Penatalaksanaan operasi adalah
untuk memperbaiki portion aganglionik di usus besar untuk membebaskan dari
obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar sehingga normal dan juga
fungsi spinkter ani internal.
Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :
a
Temporari
ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk melepaskan obstruksi
dan secara normal melemah dan terdilatasinya usus besar untuk mengembalikan
ukuran normalnya.
b
Pembedahan
koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat anak mencapai
sekitar 9 Kg (20 pounds) atau sekitar 3 bulan setelah operasi pertama (Betz,
Cecily L, et.al.
2002).
Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan:
a.
Prosedur Duhamel
Umumnya
dilakukan terhadap bayi yang berusia kurang dari 1 tahun. Prosedur ini terdiri
atas penarikan kolon normal ke arah bawah dan menganastomosiskannya di belakang
anus aganglionik, menciptakan dinding ganda yang terdiri dari selubung
aganglionik dan bagian posterior kolon normal yang ditarik tersebut.
b. Pada
prosedur Swenson
Bagian
kolon yang aganglionik itu dibuang. Kemudian dilakukan anastomosis end-to-end
pada kolon berganglion dengan saluran anal yang dilatasi. Sfinterotomi
dilakukan pada bagian posterior.
c. Prosedur
Soave
Dilakukan
pada anak-anak yang lebih besar dan merupakan prosedur yang paling banyak
dilakukanuntuk mengobati penyakit hirsrcprung. Dinding otot dari segmen rektum
dibiarkan tetap utuh. Kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus, tempat
dilakukannya anastomosis antara kolon normal dan jaringan otot rektosigmoid
yang tersisa.
2. Konservatif
Pada neonatus
dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif melalui pemasangan
sonde lambung serta pipa
rektal untuk mengeluarkan mekonium dan udara.
3.
Tindakan bedah sementara
Kolostomi
dikerjakan pada pasien neonatus, pasien anak dan dewasa yang terlambat didiagnosis dan pasien dengan enterokolitis berat dan keadaan umum memburuk. Kolostomi
dibuat di kolon berganglion normal yang paling distal.
4.
Terapi farmakologi
a.
Pada kasus stabil, penggunaan laksatif
sebagian besar dan juga modifikasi diet dan wujud feses adalah efektif.
b.
Obat kortikosteroid dan obat
anti-inflamatori digunakan dalam megakolon toksik. Tidak memadatkan dan tidak
menekan feses menggunakan tuba.
I. Asuhan
Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut
Suriadi & Rita Yuliani (2001), fokus
pengkajian yang dilakukan pada penyakit hischprung adalah:
a.
Riwayat
pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama setelah lahir, biasanya ada
keterlambatan.
b.
Riwayat
tinja seperti pita dan bau busuk.
c.
Pengkajian
status nutrisi dan status hidrasi:
1)
Adanya mual, muntah, anoreksia, mencret.
2)
Keadaan turgor kulit biasanya menurun.
3)
Peningkatan
atau penurunan berat badan.
4)
Penggunaan nutrisi dan rehidrasi
parenteral.
d. Pengkajian
status bising usus untuk melihat pola bunyi hiperaktif pada bagian proximal
karena obstruksi, biasanya terjadi hiperperistaltik usus.
e. Pengkajian
psikososial keluarga berkaitan dengan
1) Anak: Kemampuan beradaptasi dengan penyakit, mekanisme
koping yang digunakan.
2) Keluarga: Respon emosional keluarga, koping yang
digunakan keluarga, penyesuaian keluarga terhadap stress menghadapi penyakit
anaknya.
f.
Pemeriksaan
laboratorium darah hemoglobin, leukosit dan albumin juga perlu dilakukan untuk
mengkaji indikasi terjadinya anemia, infeksi dan kurangnya asupan protein.
Menurut
Donna L. Wong (2003) mengungkapkan pengkajian pada penyakit hischprung yang
perlu ditambahkan selain uraian diatas yaitu:
a.
Lakukan
pengkajian melalui wawancara terutama identitas, keluhan utama, pengkajian pola
fungsional dan keluhan tambahan.
b.
Monitor
bowel elimination pattern: adanya konstipasi, pengeluaran mekonium yang
terlambat lebih dari 24 jam, pengeluaran feses yang berbentuk pita dan berbau
busuk.
c.
Ukur
lingkar abdomen untuk mengkaji distensi abdomen, lingkar abdomen semakin besar
seiring dengan pertambahan besarnya distensi abdomen.
d.
Lakukan
pemeriksaan TTV, perubahan tanda viatal mempengaruhi keadaan umum klien.
e.
Observasi
manifestasi penyakit hirschprung
1)
Periode
bayi baru lahir.
a)
Gagal
mengeluarkan mekonium dalam 24-48 jam setelah lahir.
b)
Menolak
untuk minum air.
c)
Muntah
berwarna empedu.
d)
Distensi
abdomen
2)
Masa
bayi
a)
Ketidakadekuatan
penembahan berta badan
b)
Konstipasi
c)
Distensi
abdomen
d)
Episode
diare dan muntah
e)
Tanda-tanda
ominous (sering menandakan adanya enterokolitis: diare berdarah, letargi berat)
3)
Masa
kanak-kanak
a)
Konstipasi.
b) Feses berbau menyengat dan seperti karbon.
c) Distensi abdomen.
d)
Anak
biasanya tidak mempunyai nafsu makan dan pertumbuhan yang buruk.
f.
Bantu
dengan prosedur diagnostik dan pengujian
1)
Radiasi:
Foto polos abdomen yang akan ditemukan gambaran obstruksi usus letak rendah
2)
Biopsi
rektal: menunjukan aganglionosis otot rektum
3)
Manometri
anorectal: ada kenaikan tekanan paradoks karena rektum dikembangkan/ tekanan
gagal menurun.
2. Diagnosa
Keperawatan
Pre operasi:
a. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan
ekspansi paru.
b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan berhubungan dengan masukan makanan tak adekuat dan rangsangan muntah.
c. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan
defek persyarafan terhadap aganglion usus.
d. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan
muntah, diare dan pemasukan terbatas karena mual.
e. Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit, prosedur
pengobatan.
Post operasi:
a. Nyeri berhubungan dengan inkontinuitas jaringan
(pembedahan).
b. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan menurun imunitas.
3. Rencana
Keperawatan
Pre operasi
a.
Pola
nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru.
Tujuan:
Pola nafas efektif.
Kriteria
Hasil :
1) Frekuensi pernafasan dalam batas normal.
2) Irama nafas sesuai yang diharapkan.
3) Ekspansi dada simetris.
4) Bernafas mudah.
Rencana
tindakan:
1) Monitor frekuensi, ritme, kedalamam pernafasan.
2) Catat pergerakan dada, kesimetrisan, penggunaan otot
tambahan.
3) monitor
pola nafas bradipnea , takipnea, hiperventilasi.
4) Auskultasi suara pernafasan.
5) Monitor aliran oksigen.
6) Pertahankan jalan nafas yang paten.
b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan berhubungan dengan masukan makanan tak adekuat dan rangsangan muntah.
Tujuan: Gangguan nutrisi teratasi.
Kriteria Hasil:
1) Tidak terjadi penurunan BB/ BB ideal.
2) Nafsu makan membaik.
Rencana tindakan:
1) Monitor intake nutrisi dan output.
2) Monitor pertumbuhan dan perkembangan.
3) Timbang Berat badan.
4) Anjurkan pada keluarga pasien untuk memberikan ASI.
5) Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
6) Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium (Hb dan
albumin).
c. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan
defek persyarafan terhadap aganglion usus.
Tujuan: Pola eliminasi normal/ konstipasi teratasi.
Kriteri Hasil:
1) Warna feses kunin kecoklatan.
2) Feses lunak/ lembut dan berbentuk.
3) Bau feses tidak menyengat.
Rencana Tindakan:
1) Berikan
bantuan enema dengan cairan fisiologis
NaCl 0,9%.
2) Auskultasi bising usus.
3) Observasi
pengeluaran feces per rektal bentuk, konsistensi, dan jumlah.
4) Observasi
intake yang mempengaruhi pola dan konsistensi feses.
5) Monitor efek samping dari tindakan irigasi atau pemberian
obat oral (laksatif).
6) Anjurkan
untuk menjalankan diet yang telah dianjurkan.
7) Kolaborasi dalam pemberian obat pencahar.
d. Resiko kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan
dengan muntah, diare dan pemasukan terbatas karena mual.
Tujuan: Kekurangan cairan tidak terjadi.
Kriteria Hasil:
1) Keseimbangan intake dan output 24 jam.
2) Mata tidak cekung.
3) Kulit lembab (tidak kering).
4) Membran mukosa
mulut lembab.
Rencana tindakan:
1) Pertahankan intake dan output yang akurat.
2) Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi
adekuat, tekanan darah).
3) Monitor vital sign
4) Dorong masukan oral.
5) Kolaborasikan pemberian cairan IV
6) Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium (elektrolit).
e. Cemas berhubungan dengan perpisahan
dengan kurang
pengetahuan tentang penyakit, prosedur pengobatan.
Tujuan: Cemas teratasi.
Kriteria Hasil:
1) Tidak gelisah/ klien tampak tenang.
2) TD da nadi dalam batas normal.
Rencana Tindakan:
1) Catat
petunjuk perilaku yang menunjukkan ansietas.
2) Dorong
keluarga untuk
menyatakan perasaan dan berikan umpan balik.
3) Berikan
informasi yang akurat dan nyata tentang penyakit anak dan apa yang harus dilakukan.
4) Jelaskan tentang proses
penyakit, diet, perawatan serta obat-obatan pada keluarga pasien dan jelaskan semua prosedur yang akan dilaksanakan dan
manfaatnya bagi pasien.
Post operasi
a. Nyeri berhubungan dengan inkontinuitas jaringan
(pembedahan).
Tujuan: Nyeri teratasi
Kriteria hasil”
1) Tidak ada keluhan nyeri.
2) Klien tampak tenang.
3) TTV dalam batas normal.
Rencana Tindakan:
1)
Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi :
lokasi , karakteristik dan onset, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau
beratnya nyeri dan faktor-faktor presipitasi.
2)
Observasi
isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan, khususnya dalam
ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif.
3) Kaji
faktor-faktor yang dapat meningkatkan/ menghilangkan nyeri.
4) Berikan
tindakan nyaman, seperti pijat penggung, ubah posisi.
5)
Kontrol
faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien
terhadap ketidaknyamanan (ex: temperatur ruangan , penyinaran).
6)
Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi
(misalnya: relaksasi, guided imagery, distraksi, terapi bermain, terapi
aktivitas).
7) Kolaborasi
pemberian analgetik.
b. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan menurun imunitas,
luka terbuka.
Tujuan: Tidak terjadi infeksi.
Kriteria Hasil:
1) Tidak ada tanda-tanda infeksi.
2) Suhu dalam batas normal.
3) Hasil lab normal (leukosit).
Rencana tindakan:
1)
Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan
lokal.
2)
Monitor kerentanan terhadap infeksi.
3)
Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap
kemerahan, panas dan drainase.
4)
Inspeksi kondisi luka/ insisi bedah.
5)
Dorong masukan nutrisi yang cukup.
6)
Lakukan keperawatan pada kolostomi atau perianal.
7)
Kolaborasi pemberian
antibiotik dalam penatalaksanaan pengobatan terhadap mikroorganisme.