BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Gastroenteritis adalah kehilangan cairan dalam elektrolit secara berlebihan karena frekuensi satu kali atau lebih buang air besar dengan bentuk tinja yang cair (Suriadi dan Yuliani, 2001; hal 83).
Gastroenteritis adalah defekasi encer lebih dari 3x sehari dengan atau tanpa darah dan lendir dalam tinja, terjadi secara mendadak dan berlangsung kurang dari 7 hari pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat (Mansjoer, Arif dkk, 2000; hal 213).
Gastroenteritis adalah infeksi saluran pencernaan disebabkan oleh berbagai enteropatogen termasuk bakteri, virus dan parasit (Behrman, R. E, et.al, 2000; hal 172).
Diare adalah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali sehari pada bayi dan lebih dari 3 kali sehari pada anak dengan konsistensi encer, dapat berwarna hijau/ dapat pula bercampur lendir dan darah/ lendir saja. (Ngastiyah, 2005; hal 224).
Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Gastroentritis adalah infeksi saluran pencernaan yang disebabkan oleh mikrooraganisme yang ditandai dengan meningkatnya frekuensi BAB lebih dari empat kali dalam sehari.
B. Etiologi
1. Faktor infeksi
a. Infeksi enteral yaitu infeksi saluaran pencernaan yang merupakan penyebab utama diare pada anak. Meliputi infeksi enteral sebagai berikut:
1) Infeksi bakteri: Shigella, Salmonella, E-Coli, Vibro cholera, Basilus Cereus, Clostridium perfringan, Staphylococcus aerus, Campylobecter, Aeromonas, Yersinia.
2) Infeksi virus: Enterovirus (Virus ECHO, Coxsackie, poliomyelitis), Adeno-virus, Rotavirus, Astrovirus dan lain-lain.
3) Infeksi parasit: cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris, Strongyloides), protozoa (Entamoeba, Histolytica, Giardia lambia, Balantidium Coli, Trichomonas hominis) dan jamur (Candida albicans).
b. Infeksi parenteral yaitu infeksi di bagian tubuh lain di luar alat pencernaan seperti Bronchopneumomia, OMA, Tonsillitis, Faringitis, Encephalitis, Tonsilofaringitis keadaan ini terutama pada bayi dan anak berumur di bawah 2 tahun.
2. Faktor malabsorbsi
a. Malabsorbsi karbohidrat: disakarida (intoleransi laktosa, maltosa dan sukrosa), monosakarida (intoleransi glukosa, frultosa, dan galaktosa). Pada bayi dan anak yang terpenting dan terserinng adalah intoleransi laktosa.
b. Malabsorbsi lemak.
c. Malabsorbsi protein.
3. Faktor makanan, makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan.
4. Faktor psikologis, rasa takut dan cemas(jarang, tetapi dapat terjadi pada anak yang lebi besar).
C. Patofisiologi
1. Proses perjalanan penyakit
Penyebab gastroenteritis akut adalah masuknya virus (Rotravirus, Adenovirus enteris, Virus Norwalk), Bakteri atau toksin (Compylobacter, Salmonella, Escherihia Coli, Yersinia dan lainnya), parasit (Biardia Lambia, Cryptosporidium). Beberapa mikroorganisme patogen ini menyebabkan infeksi pada sel-sel, memproduksi enterotoksin atau Cytotoksin dimana merusak sel-sel, atau melekat pada dinding usus pada gastroenteritis akut.
Penularan gastroenteritis bisa melalui fekal-oral dari satu klien ke klien yang lainnya. Beberapa kasus ditemui penyebaran patogen dikarenakan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotik (makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus berlebihan sehingga timbul diare). Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus, sehingga sekresi air dan elektrolit meningkat kemudian terjadi diare.
Gangguan motilitas usus yang mengakibatkan hiperperistaltik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri adalah kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan asam basa (asidosis metabolik dan hipokalemia), gangguan gizi (intake kurang, output berlebih), hipoglikemia dan gangguan sirkulasi darah.
Sebagai akibat diare baik yang akut ataupun kronik terjadi: kehilangan air dan elektrolit (dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan asam basa (asidosis metabolik, hipokalemia), gangguan gizi akibat kelaparan (masuk makanan kurang, pengeluaran bertambah, hipoglikemi, gangguan sirkus darah). Diare yang terjadi merupakan proses transport aktif akibat rangsangan toksin bakteri terhadap elektrolit kedalam usus. Sel dalam mukosa intestinal mengalami iritasi dan meningkatkan sekresi cairan dan elektrolit. Mikroorganisme yang masuk akan merusak sel mukosa instestinal sehingga menurunkan area permulaan intestinal. Perubahan kapasitas instestinal dan terjadi gangguan absorsi cairan dan elektrolit. Peradangan akan menurunkan kemampuan instestinal untuk mengabsorsikan cairan dan elektrolit dan bahan-bahan makanan, ini terjadi pada sindrom malabsorsi. Meningkatnya molalitas intestinal dapat mengakibatkan gangguan absorbsi intestinal.
2. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis yang sering ditemukan antara lain mula-mula klien cengeng, gelisah, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan berkurang/ tidak ada, sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer yang mungkin disertai lendir dan darah, mual dan muntah, kram abdomen (disebabkan karena ketidakseimbangan elektrolit), lemah, pucat, perubahan tanda-tanda vital, menurun atau tidak ada pengeluaran urin, dan dehidrasi.
Tahapan dehidrasi menurut Ashwill dan Droske (1997) dikutip dari Suriadi dan Yuliani (2001):
a. Dehidrasi ringan: berat badan menurun 3-5% dengan volume cairan yang hilang < 50 ml/ kg BB.
b. Dehidrasi sedang: berat badan menurun 6-9% dengan volume cairan yang hilang < 50-90 ml/ kg BB.
c. Dehidrasi berat: berat badan menurun > 10% dengan volume cairan yang hilang < 100 ml/ kg BB.
3. Komplikasi
Gastroenteritis dengan gejala dapat mengakibatkan kehilangan cairan dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi. Renjatan hipovolemik (akibat dehidrasi berat), hipokalemia (akibat pengeluaran Ka+ meningkat), hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia (akibat malabsorbsi makanan dalam usus), kerusakan vili mukosa usus (akibat sekresi cairan yang berlebihan dan adanya endotoksin dalam usus), defisiensi enzim laktose, kejang, malnutrisi energi protein (akibat muntah dan diare, jika lama atau kronik), cardiac dysrhythmias (akibat hipokalemia dan hipokalsemia) dan dapat terjadi asidosis metabolik.
D. Penatalaksanaan medis
1. Pemberian cairan
Pemberian cairan pada pasien diare dengan memperhatikan derajat dehidrasinya dan keadaan umum.
a. Cairan peroral
Pada pasien dengan dehidrasi ringan dan sedang cairan diberikan peroral berupa cairan yang diberisikan NaCL, NaHCO3, KCl, glukosa. Untuk diare akut dan kolera pada anak diatas umur 6 bulan kadar natrium 90 Meq/L. Pada anak dibawah umur 6 bulan dengan dehidrasi ringan/sedang kadar natrium 50 – 60 Meq/L. Formula lengkap sering disebut oraut. Cairan serderhana yang dapat dibuat sendiri ( formula tak lengkap ),hanya mengandung garam dan gula ( Nacl dan Sukrosa ), atau air tajin yang diberi garam dan gula, untuk pengobatan sementara sebelum dibawa berobat kerumah sakir/pelayanan kesehatan untuk dehidrasi lebih jauh.
b. Cairan parenteral
Ada beberapa jenis cairan yang diperlukan sesuai dangan kebutuhan pasien misalnya untuk bayi atau pasien yang MEP tetapi semuanya itu tergantung tersedianya cairan setempat . Pada umumnya cairan ringer laktat (RL)selalu tersedia di fasilitas kesehatan dimana saja, mengenai pemberian cairan seberapa banyak yang diberikan bergantung dari berat/ringannya dehidrasi yang diperhitungkan dengan kehilangan cairan sesuai dengan umur dan berat badan.
Cara memberikan cairan dalam terapi dan rehidrasi:
Belum ada dehidrasi: peroral sebanyak anak mau minum atau segelas tiap defekasi.
1) Dehidrasi ringan
Satu jam pertama: 25-50 ml/kg BB peroral, selanjutnya: 125 ml/kg BB/hari.
2) Dehidrasi sedang
Satu jam pertama: 50-100 ml/kg BB peroral, selanjutnya: 125 ml/kg BB/hari.
3) Dehidrasi berat
Untuk anak diumur 1 bulan – 2 tahun berat badan 3-10 kg, 1 jam pertama: 40 ml/kg BB/jam = 10 tetes/kg BB/menit (set infuse 1 ml = 15 tetes) atau 13 tetes/kg BB/menit (set infuse 1 ml = 20 tetes). Tujuh jam berikutnya: 12 ml/kg BB/jam = 3tetes/kg BB/menit (set infuse 1 ml = 15 tetes) atau 4 tetes/kg BB/menit (set infuse 1 ml = 20 tetes). Enam belas jam berikutnya: 120 ml/kg BB/oralit peroral atau intragrastik bila anak tidak mau minum, teruskan dengan DGaa intravena = 2 tetes/kg BB/menit (set infuse 1 ml = 15 tetes) atau 3 tetes/kg BB/menit (set infuse 1 ml = 20 tetes).
2. Tindakan medis yang bertujuan untuk pengobatan
a. Pengobatan dietetik
Untuk anak dibawah 1 tahun dan anak diatas 2 tahun dengan berat badan kurang dari 7 kg jenis makanan susu (ASI atau susu formula) yang mengandung laktosa rendah untuk anak dibawah 1 tahun), dan asam lemak tidak jenuh, misalnya makanan setengah padat (bubur susu). Untuk anak di atas 2 tahun, jenis makanan yang diberikan yaitu berupa makanan padat atau makanan cair/ sesuai dengan kebiasaan dirumah.
b. Obat-obatan
1) Obat anti sekresi; Asetosal dosis 25 mg/tahun dengan dosis minimum 30 mg, Klorpromazin dosis 0.5 – 1 mg/kg/hari.
2) Obat spasmolitik; umumnya obat spasmolitik seperti papaverin, ekstra beladona, opium loperamid tidak digunakan untuk mengatasi diare akut lagi. Obat pengeras tinja seperti kaolin, pekthin, charcoal, tabonal, tidak ada manfaatnya lagi untuk mengatasi diare sehingga tidak diberikan lagi.
3) Antibiotik: umumnya antibiotik tidak diberikan bila tidak ada penyebab yang jelas bila penyebabnya kolera, diberikan tetrasiklin 25–50 mg/kg BB/hari. Antibiotik juga diberikan bila terdapat penyakit penyerta seperti: OMA, Faringitis, Bronkritis, atau Bronkopneumonia (Ngastiyah, 2005; hal 230).
E. Konsep Tumbuh Kembang Anak Usia Todler (1-3 tahun)
Pertumbuhan merupakan bertambahnya jumlah dan besarnya sel di seluruh tubuh yang secara kuantitatif dapat di ukur, sedangkan perkembangan merupakan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang dicapai melalui tumbuh kematangan dan belajar (Whalley & Wong, 2000). Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan struktur/ fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang terartur, dapat diperkirakan, dan diramalkan sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ – organ, dan sistemnya yang terorganisasi (IDAI, 2002). Dengan demikian, aspek perkembangan ini bersifat kualitatif, yaitu kematangan fungsi dari masing–masing bagian tubuh.
Hal ini diawali dengan berfungsinya jantung untuk memompa darah, kemampuan untuk bernafas, sampai kemampuan anak untuk tengkurap, duduk, berjalan, bicara, memungut benda–benda disekelilingnya, serta kematangan emosi dan sosial anak. Tahap perkembangan awal akan menentukan tahap perkembangan selanjutnya. Pada dasarnya, manusia dalam kehidupannya mengalami berbagai tahapan tumbuh kembang dan setiap tahap mempunyai ciri tertentu.
Pertumbuhan melambat selama masa todler. Rata-rata pertambahan berat badan adalah 1,8 sampai 2,7 kg per tahun. Berat rata-rata pada usia 2 tahun adalah 12 kg. Berat badan menjadi empat kali berat badan lahir pada usia 2½ tahun. Kecepatan pertambahan tinggi badan juga melambat. Penambahan tinggi yang biasa adalah bertambah 7,5 cm per tahun dan terutama terjadi dalam perpanjangan tungkai dan bukan batang tubuh. Tinggi badan rata-rata anak usia 2 tahun adalah 86,6 cm. Secara umum, tinggi badan orang dewasa sekitar dua kali tinggi badannya sewaktu berusia 2 tahun.
Kecepatan pertambahan lingkar kepala melambat pada akhir masa bayi, dan lingkar kepala biasanya sama dengan lingkar dada pada usia 1 – 2 tahun. Total pertambahan lingkar kepala umumnya selama tahun kedua adalah 2,5 cm. Kemudian kecepatan pertambahan melambat sampai usia 5 tahun, pertambahan tinggi badan menjadi kurang dari 1,25 cm per tahun. Fontanela anterior menutup antara usia 12 sampai 18 bulan.
Keterampilan motorik kasar mayor selama masa todler adalah perkembangan lokomosi. Pada usia 12 sampai 13 bulan todler sudah dapat berjalan sendiri dengan jarak kedua kaki melebar untuk keseimbangan ekstra dan pada 18 bulan mereka berusaha lari tetapi mudah terjatuh. Antara usia 2 dan 3 tahun, posisi tegak dengan dua kaki menunjukan peningkatan koordinasi dan keseimbangan. Pada usia 2 tahun todler dapat berjalan menaiki dan menuruni tangga, dan pada usia 2½ tahun mereka dapat melompat, menggunakan kedua kaki, berdiri pada satu kaki selama satu atau dua detik, dan melakukan beberapa langkah dengan berjinjit. Pada akhir tahun kedua mereka dapat berdiri dengan satu kaki, berjalan jinjit, dan menaiki tangga dengan berganti-ganti kaki.
Perkembangan motorik halus diperlihatkan dengan meningkatnya keterampilan deksteritas manual. Misalnya, pada usia 12 bulan todler mampu menggenggam sebuah benda yang sangat kecil tetapi tidak mampu melepaskan sesuai keinginannya. Pada 15 bulan mereka dapat menjatuhkan kelereng ke dalam botol berleher sempit. Menangkap atau melempar benda dan menangkapnya kembali menjadi aktivitas yang hampir obsesif pada usia sekitar 15 bulan. Pada usia 18 bulan todler dapat melempar bola dari tangan tanpa kehilangan keseimbangan.
Todler dihadapkan pada penguasaan beberapa tugas penting. Apabila kebutuhan untuk membentuk dasar kepercayaan telah terpuaskan, mereka siap meninggalkan ketergantungannya menjadi memiliki kontrol, mandiri, dan otonomi.
Tugas mayor periode todler adalah diferensiasi diri dari orang lain, terutama ibu. Proses diferensiasi terdiri atas dua fase: perpisahan, kemunculan anak dari kesatuan simbiosis dengan ibunya, dan individualisasi, pencapaian tersebut menandai asumsi anak mengenai karakteristik individual mereka di dalam lingkungan. Meskipun proses ini dimulai selama paruh waktu masa bayi, pencapaian terbesar terjadi selama masa todler.
Karakteristik perkembangan bahasa yang paling mengejutkan selama masa kanak-kanak awal adalah meningkatnya tingkat pemahaman. Meskipun jumlah kata yang dikuasai sekitar 4 pada usia 1 tahun menjadi 300 pada usia 2 tahun-perlu dicatat, kemampuan untuk memahami dan mengerti percakapan jauh lebih besar dibandingkan jumlah kata yang dapat diucapkan anak. Ini terjadi terutama pada keluarga yang menggunakan dua bahasa, yang perbendaharaan katanya bisa terlambat dikuasai tetapi kedua bahasa dapat dipahami dengan tepat (Chiocca, 1998 dikutip dari Wong, D. L, et.al, 2009).
F. Konsep Hospitalisasi Anak Usia todler
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah (Supartini, 2004). Selama proses tersebut, anak dan orang tua dapat mengalami berbagai kejadian yang menurut beberapa penelitian ditunjukkan dengan pengalaman yang sangat traumatik dan penuh dengan stres.
Berbagai perasaan yang sering muncul pada anak, yaitu cemas, marah, sedih, takut, dan rasa bersalah (Wong, 2000 dikutip dari Supartini, 2004). Perasaan tersebut dapat timbul karena menghadapi sesuatu yang baru dan belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak aman dan tidak nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang biasa dialaminya, dan sesuatu yang dirasakan menyakitkan.
Apabila anak stres selama dalam perawatan, orang tua menjadi stres pula, dan stres orang tua akan membuat tingkat stres anak semakin meningkat (Supartini, 2004). Anak adalah bagian dari kehidupan orang tuanya sehingga apabila ada pengalaman yang mengganggu kehidupannya maka orang tua pu merasa sangat stres (Brewis, 1995 dikutip dari Supartini, 2004). Dengan demikian, asuhan keperawatan tidak bisa hanya berfokus pada anak, tetapi juga pada orang tuanya.
Anak usia todler bereaksi terhadap hospitalisasi sesuai dengan sumber stresnya. Sumber stres yang utama adalah cemas akibat perpisahan. Respons perilaku anak sesuai dengan tahapannya, yaitu tahap protes, putus asa, dan pengingkaran (denial). Pada tahap protes, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis kuat, menjerit memanggil orang tua atau menolak perhatian yang diberikan orang lain. Pada tahap putus asa, perilaku yang ditunjukkan adalah menangis berkurang, anak tidak aktif, kurang menunjukkan minat untuk bermain dan makan, sedih dan apatis. Pada tahap pengingkaran, perilaku yang ditunjukkan adalah secara samar mulai menerima perpisahan, membina hubungan secara dangkal, dan anak mulai terlihat menyukai lingkungannya.
Oleh karena adanya pembatasan terhadap pergerakannya, anak akan kehilangan kemampuannya untuk mengontrol diri dan anak menjadi tergantung pada lingkungannya. Akhirnya, anak akan kembali mundur pada kemampuan sebelumnya atau regresi. Terhadap perlukaan yang dialami atau nyeri yang dirasakan karena mendapatkan tindakan invasif, seperti injeksi, infus, pengambilan darah, anak akan menangis, menggigit bibirnya, dan memukul. Walaupun demikian, anak dapat menunjukkan lokasi rasa nyeri dan mengkomunikasikan rasa nyerinya.
G. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian yang sistematis meliputi pengumpulan data dan penentuan masalah. Pengumpulan data diperoleh dengan cara wawancara, pemeriksaan fisik dan observasi. Pengkajian meliputi:
a. Identitas pasien (nama, umur, jenis kelamin).
b. Riwayat keperawatan: pada awal serangan, anak cengeng, gelisah, suhu tubuh meningkat, anoreksia, kemudian timbul diare. Keluhan utama: Feses semakin cair, muntah, bila kehilangan banyak air dan elektrolit terjadi gejala dehidrasi, BB menurun. Pada bayi ubun-ubun besar cekung, mata cekung, tonus otot dan tugor kulit berkurang, selaput lendir mulut dan bibir kering, frekuensi BAB lebih dari 4 kali dengan konsistensi encer.
c. Riwayat kesehatan masa lalu mencakup riwayat penyakit yang diderita klien dan riwayat pemeriksaan imunisasi.
d. Riwayat psikososial keluarga dirawat akan menjadi stressor anak itu sendiri maupun bagi keluarga, kecemasan meningkat jika orang itu tidak mengetahui prosedur dan pengobatan anak, setelah menyadari, mereka akan bereaksi dengan marah dan merasa bersalah.
e. Kebutuhan dasar yang perlu digali adalah pola eliminasi seperti BAB lebih dari 4 kali sehari dan BAK sering: pola nutrisi diawali dengan mual, muntah, anoreksia, menyebabkan penurunan berat badan pasien. Pola tidur dan istirahat akan terganggu karena adanya distensi abdomen yang menimbulkan rasa tidak nyaman, dan pola hygiene, kebiasaan mandi anak setiap hari.
f. Pemeriksaan fisik yang ditemukan pada anak keadaan umum tampak lemah, kesadaran composmentis sampai dengan koma, suhu tubuh meningkat, nadi cepat dan lemah, pernapasan agak cepat, pemeriksaan sistematis. Inspeksi: mata cekung, ubun-ubun cekung, anus kemerahan. Palpasi: turgor kulit kering, perkusi: adanya distensi abdomen. Auskultasi: bising usus meningkat.
g. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain hematest feses (untuk memeriksa adanya darah), evaluasi feses terhadap volume, warna, konsistensi, adanya pus, hitung darah lengkap, uji antigen imunoessai enzim (untuk memastikan rotavirus), kultur feses (untuk menentukan patogen), evaluasi feses terhadap telur cacing dan parasit. Urinalisis dan kultur (berat jenis bertambah karena dehidrasi, organisme shigella keluar melalui urin), DL (untuk menentukan penyebab).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Kurang volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebihan melalui feses atau emesis.
b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan cairan melalui diare, masukan yang tidak adekuat.
c. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan mikroorganisme yang menembus saluran gastrointestinal.
d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi karena diare.
e. Cemas/ takut berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua, lingkungan tidak dikenal, prosedur yang menimbulkan stress.
f. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan krisis situasi, kurang pengetahuan.
3. Perencanaan Keperawatan
a. Kurang volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan yang berlebihan melalui feses atau emesis.
Tujuan: Pasien menunjukan tanda-tanda rehidrasi dan mempertahankan dehidrasi adekuat.
Kriteria hasil:
1) Turgor kulit baik/ elastis.
2) Mukosa mulut dan bibir lembab.
3) Kelopak mata tidak cekung.
4) BB tidak turun selama perawatan.
5) TTV dalam batas normal (36.5-37.5˚C).
Intervensi:
1) Berikan dan pantau cairan sesuai ketentuan.
2) Setelah rehidrasi, berikan diet regular pada anak sesuai tolerasi.
3) Pertahankan pencatatan yang ketat terhadap masukan dan keluaran.
4) Timbang berat badan anak.
5) Kaji tanda-tanda vital, turgor kulit, membran mukosa, dan status mental setiap 4 jam atau sesuai indikasi.
6) Ajarkan keluarga dalam memberikan terapi yang tepat, pemantauan masukan dan keluaran, dan mengkaji tanda-tanda dehidrasi.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan cairan melalui diare dan masukan yang tidak adekuat.
Tujuan: Pasien mengkonsumsi nutrisi yang adekuat untuk mempertahankan berat badan yang sesuai dengan usia.
Kriteria hasil:
1) BB normal sesuai usia.
2) Klien mampu menghabiskan makanan yang disediakan.
3) Klien aktif dan nilai Hb dalam batas normal.
Intervensi:
1) Setelah rehidrasi, instruksi ibu menyusui untuk melanjutkan pemberian ASI.
2) Hindari pemberian diet dengan pisang, beras, apel, dan rod panggang atau teh.
3) Observasi dan catatan respons terhadap pemberian makan.
4) Instruksikan keluarga dalam pemberian diet yang tepat.
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan mikroorganisme yang menembus saluran gastrointestinal.
Tujuan: Pasien (orang lain) tidak menunjukan tanda-tanda infeksi gastrointestinal.
Kriteria hasil:
1) Infeksi tidak menyebar kepada orang lain.
Intervensi :
1) Pertahankan pencucian tangan yang benar.
2) Pakaikan popok dengan tepat.
3) Gunakan popok sekali pakai.
4) Ajarkan keluarga untuk tindakan perlindungan seperti mencuci tangan setelah menggunakan toilet.
5) Instruksikan anggota keluarga dan pengunjung untuk mencuci tangan setelah cuci tangan.
d. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi karena diare.
Tujuan: Integritas kulit baik, kulit mulus, tidak ada kemerahan dan luka.
Kriteria hasil:
1) Pasien tidak menunjukan tanda-tanda kerusakan kulit
2) Kulit tidak lecet
3) Kulit kering dan kulit tidak kemerahan.
Intervensi :
1) Ganti popok dengan sering.
2) Bersihkan bokong perlahan-lahan dengan sabun lunak dan air.
3) Berikan salep pelindung seperti seng oksida pada kulit yang sangat teriritasi.
4) Observasi bokong dan perineum akan adanya infeksi.
5) Berikan obat anti jamur yang tepat.
e. Cemas/ takut berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua, lingkungan tidak kenal, prosedur yang menimbulkan stress.
Tujuan: Pasien menunjukan tanda-tanda kenyamanan.
Kriteria hasil:
1) Pasien menunjukan tanda-tanda distress fisik atau emosional yang minimal.
2) Keluarga berpatisipasi dalam perawatan anak sebanyak mungkin.
Intervensi:
1) Dorong kunjungan dan bicara pada anak sebanyak yang mampu dilakukan keluarga.
2) Sentuh, gendong, dan bicara pada anak sebanyak mungkin.
3) Beri stimulasi sensoris dan pengalihan yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak dan kondisinya.
f. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan kritis situasi, kurang pengetahuan.
Tujuan: Keluarga memahami tentang penyakit anak dan pengobatannya serta mampu memberikan perawatan.
Kriteria hasil:
1) Keluarga menunjukan kemampuan untuk merawat anak khususnya dirumah.
Intervensi:
1) Berikan informasi pada keluarga tentang penyakit anak dan tindakan terapeutik.
2) Bantu keluarga dalam memberikan rasa nyaman dan dukungan pada anak.
3) Izinkan anggota keluarga untuk berpartisipasi dalam perawatan anak sebanyak yang meraka inginkan.
4) Instruksikan keluarga mengenai pencegahan.
5) Atur perawatan kesehatan pasca hospitalisasi.
4. Pelaksanaan keperawatan
Tahap pelaksanaan merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan dengan melaksanakann berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperrawatan. Dalam tahap ini, perawat harus mengetahui berbagai hal di antaranya bahaya-bahaya fisik dan perlindungan pada klien, tehnik komunikasi, kemampuan dalam prosedur tindakan, pemahaman tentang hak-hak dari pasien serta dalam memahami tingkat perkembangan pasien. Dalam pelaksanaan rencana tindakan terdapat dua jenis tindakan, yaitu tindakan jenis mandiri dan tindakan kolaborasi (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008 : 122).
5. Evaluasi keperawatan
Tahap evaluasi adalah perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Kemampuan yang harus dimiliki perawat pada tahap ini adalah memahami respon terhadap intervensi keperawatan, kemampuan mengembalikan kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan pada kriteria hasil. Pada tahap evaluasi ini terdiri dari 2 kegiatan yaitu:
a. Evaluasi formatif menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan respon segera.
b. Evaluasi sumatif merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status klien pada waktu tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap perencanaan. Di samping itu, evaluasi juga sebagai alat ukur suatu tujuan yang mempunyai kriteria tertentu yang membuktikan apakah tujuan tercapai, tidak tercapai atau tercapai sebagian.
1) Tujuan tercapai
Tujuan dikatakan tercapai bila klien telah menunjukan perubahan dan kemajuan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian
Tujuan ini dikatakan tercapai sebagian apabila tujuan tidak tercapai secara keseluruhan sehingga masih perlu dicari berbagai masalah atau penyebabnya, seperti klien dapat makan sendiri tetapi masih merasa mual. Setelah makan bahkan kadang-kadang muntah.
3) Tujuan tidak tercapai
Dikatakan tidak tercapai apabila tidak menunjukan adanya perubahan kearah kemajuan sebagaimana kriteria yang diharapkan.
Adapun evaluasi akhir yang ingin dicapai dari tiap-tiap diagnosa adalah:
a. Kurang volume cairan teratasi.
b. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi.
c. Resiko tinggi infeksi tidak terjadi.
d. Kerusakan integritas kulit teratasi.
e. Cemas/ takut teratasi.
f. Perubahan proses keluarga teratasi.
Untuk perbaikan, kepada para pengunjung diharapkan meninggalkan kritik dan saran untuk perbaikan..
BalasHapusTerima-Kasih..