TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Diabetes Melitus merupakan sekelompok kelainan kategori yang ditandai oleh kenaikan keadaan glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Smeltzer, S.C & Bare, B. G, 2002).
Diabetes Melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat (Price, S.A & Wilson, L.M,2005).
Diabetes Melitus merupakan penyakit kronis metabolisme abnormal yang memerlikan pengobatan seumur hidup dengan diet, latihan dan obat-obatan (Carpenito,L.J, 2006).
Diabetes Melitus merupakan suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin yang absolut atau relatif gangguan fungsi insulin (WHO, 2005).
Diabetes Melitus adalah suatu kelainan metabolisme kronis yang terjadi karena berbagai penyebab, ditandai oleh konsentrasi glukosa darah melebihi normal, disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang diakibatkan oleh kelainan sekresi hormon insulin, kelainan kerja insulin atau kedua-duanya (Depkes RI, 2005).
Dari beberapa definisi diatas dapat di simpulkan bahwa Diabetes Melitus adalah kelainan metabolik kronik yang ditandai dengan kenaikan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman nutrien ke sel.
B. Etiologi
Terdapat beberapa macam etiologi dari Diabetes Melitus tergantung dari tipe Diabetes Melitus, diantaranya:
1. Diabetes Melitus tipe I
Diabetes Melitus tipe I ditandai oleh penghancuran sel-sel beta pankreas. Kombinasi faktor genetik, imunologi dan mungkin pula lingkungan (misalnya infeksi virus) diperkirakakan destruksi sel beta.
a. Faktor genetik
Penderita Diabetes Melitus tidak mewarisi Diabetes Melitus tipe I itu sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik kearah terjadinya Diabetes Melitus tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada individu yang memilliki tipe antigen HLA (human leucocyte antigen) tertentu.
b. Faktor imunologi
Pada Diabetes Melitus tipe I terdapat bukti adanya suatu respon autoimun. Respon ini merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan asing.
c. Faktor lingkungan
Penyelidikan juga sedang dilakukan terhadap kemungkinan faktor-faktor eksternal yang dapat memicu destruksi sel beta. Sebagai contoh, hasil penyelidikan yang menyatakan bahwa virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autoimun yang menimbulkan destruksi sel beta.
2. Dibetes Melitus tipe II
Mekanisme yang dapat menyebabkan resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin pada Diabetes Melitus tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik diperkirakan memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin. Selain itu terdapat pula faktor-faktor resiko tertentu yang berhubungan dengan proses terjadinya Diabetes Melitus tipe II. Faktor-faktor lain adalah:
a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun).
b. Obesitas.
c. Riwayat keluarga.
d. Ras (Smeltzer, S.C & Bare, B. G, 2002).
C. Patofisiologi
1. Proses penyakit
Pada Diabetes Melitus tipe II terdapat dua masalah yang berhubungan dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada Diabetes Melitus tipe II disertai dengan penurunan reaksi intra sel yang mengakibatkan tidak efektifnya insulin untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresi. Namun pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini akibat sekresi insulin berlebihan, dan kadar glukosa akan di pertahankan dalam tingkat normal atau sedikit meningkat. Namun demikian bila sel-sel beta tidak mampu megimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan mengakibatkan Diabetes Melitus tipe II (Smeltzer, S.C & Bare, B. G, 2002).
2. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dari Diabetes Melitus tipe II, sepereti lambat (tahunan) intoleransi glukosa progresif, poliuria (akibat dari diuresis osmotik bila diambang ginjal terhadap reabsorpsi glukosa dicapai dan kelebihan glukosa keluar melalui ginjal), polidipsia (disebabkan oleh dehidrasi sel akibat lanjut dari poliuria), keletihan, luka pada kulit yang sembuhnya lama, infeksi vagina, keputihan akibat kelainan ginekologis (Smeltzer, S.C & Bare, B. G, 2002).
3. Komplikasi yang berkaitan ke dua tipe Diabetes Melitus diatas di golongkan, antara lain:
a. Komplikasi Akut
1) Ketoasidosis Diabetik adalah gangguan metabolik yang terjadi akibat defisiensi insulin di karakteristikan dengan hiperglikemia eksterm (lebih 300 mg/ dl). Pasien sakit berat dan memerlukan intervensi untuk mengurangi kadar glukosa darah dan memperbaiki asidosis berat, elektrolit, ketidakseimbangan cairan. Adapun faktor pencetus Ketoasidosis Diabetik: obat-obatan, steroid, diuretik, alkohol, gagal diet, kurang cairan, kegagalan pemasukan insulin, stress, emosional, dan riwayat penyakit ginjal.
2) Hipoglikemia merupakan komplikasi insulin dengan menerima jumlah insulin yang lebih banyak daripada yang di butuhkannya untuk mempertahankan kadar glukosa normal. Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala dan palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul dan koma).
b. Komplikasi jangka panjang
1) Mikroangiopati Diabetik merupakan lesi spesifik Diabetes Melitus yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot dan kulit.
2) Makroangiopati Diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan karena insufisiensi insulin yang menjadi penyebab jenis penyakit vaskuler. Gangguan–gangguan ini berupa penimbunan sorbitol dalam intima vaskuler, hiperproteinemia dan kelainan pembekuan darah. Pada akhirnya makroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan vaskuler. Jika yang terkena adalah arteri koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium (Price, S. A. & Wilson L.M, 2006).
D. Penatalaksanaan Medis
Kerangka utama penatalaksanaan Diabetes Melitus yaitu perencanaan makan, latihan jasmani, obat hipoglikemik, dan penyuluhan.
1. Perencanaan makan (meal planning)
Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI), telah ditetapkan bahwa standar yang dianjurkan adalah santapan dengan komposisi seimbang berupa karbohidrat (60-70%), protein (10-15%). Lemak (20-25%). Apabila diperlukan santapan dengan komposisi karbohidrat sampai 70-75% juga memberikan hasil yang baik, terutama untuk golongan ekonomi rendah. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut, dan kegiatan jasmani untuk mencapai berat badan ideal. Jumlah kandungan kolesterol <300 mg/ hari. Jumlah kandungan serat ± 25 g/ hari, diutamakan jenis serat larut. Konsumsi garam dibatasai bila terdapat hipertensi. Pemanis dapat digunakan secukupnya.
2. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani teratur, 3-4 kali tiap minggu selama ± 0,5 jam yang sifatnya sesuai CRIEPE ( continous, rhytmical, interval, progressive, endurance training). Latihan yang dapat dijadikan pilihan adalah jalan kaki, jogging, renang, bersepeda, dan mendayung.
3. Obat berkhasiat hipoglikemik
a. Sulfonilurea
Obat ini bekerja dengan cara menstimulsai pelepasan insulin yang tersimpan, menurunkan ambang sekresi insulin, meningkatkan sekresi insulin sebagai aklibat rangsangan glukosa. Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan berat badan normal dan masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih.
b. Biguanid
Obat ini menurunkan kadar glukosa darah tapi tidak sampai dibawah normal. Preparat yang ada dan aman adalah metformin. Obat ini dianjurkan untuk pasien gemuk (indeks masa tubuh/ IMT > 30) sebagai obat tunggal.
c. Inhibitor α glukosidase
Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim α glukosidase didalam saluran cerna, sehingga menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia pasca prandial.
4. Insulin sensitizing agent
Thoazolidinediones adalah golongan obat baru yang mempunyai efek farmakologi meningkatkan sensitivitas insulin, sehinggga bisa mengatasi masalah resistensi insulin dan berbagai masalah akibat resistensi insulin tanpa mengakibatkan hipoglikemia (Mansjoer, A, dkk, 2001).
E. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan dengan mengumpulkan data-data yang akurat dari klien sehingga akan di ketahui berbagai permasalahan yang ada (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008 : 98).
Pengkajian keperawatan Diabetes Melitus meliputi:
a. Aktifitas dan istirahat
Gejala: letih, lemah sulit berjalan / bergerak, tonus otot menurun, kram otot, gangguan istirahat/ tidur.
Tanda: Takikardi dan takipnea pada keadaan istirahat atau dengan aktifitas, letargi/ disorientasi, koma dan penurunan kekuatan otot.
b. Sirkulasi
Gejala: Riwayat hipertensi, infark miokard akut, klaudikasi, kebas, kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama.
Tanda: takikardi, perubahan tekanan darah postural: hipertensi, nadi menurun/ tidak ada, disritmia, kulit panas, kering dan kemerahan: bola mata cekung.
c. Integritas Ego
Gejala: stress, tergantung pada orang lain.
Tanda: Ansietas.
d. Eliminasi
Gejala: Perubahan pola kemih, poliuria, nokturia, rasa nyeri atau terbakar, kesulitan berkemih (infeksi), ISK baru tau berulang, nyeri tekan abdomen, diare.
Tanda: urin encer, pucat, kuning: poliuri(dapat berkembang menjadi oliguria/ anuria jika terjadi hipovolemia berat), urin berkabut, bau busuk (infeksi), abdomen keras, adanya asites, bising usus lemah dan menurun: hiperaktif (diare).
e. Makanan/ Cairan
Gejala: Hilang nafsu makan, mual, muntah, tidak mengikuti diet; peningkatan masukan glukosa/ karbohidrat, penurunan berat badan lebih dari beberapa hari/ minggu, haus, penggunaan diuretik (tiazid).
Tanda: kulit kering/ bersisik, turgor jelek, kekakuan/ distensi abdomen, muntah, hipertiroid (peningkatan kebutuhan metabolik dengan peningkatan gula darah), bau halitosis/ manis, bau buah (nafas aseton).
f. Neurosensori
Gejala: Pusing/ pening, sakit kepala, kesemutan, kebas, kelemahan pada otot, gangguan penglihatan.
Tanda: disorientasi: mengantuk, letargi, stupor/ koma, gangguan memori (baru, masa lalu),kacau mental, refleks tendon dalam menurun, aktivitas kejang.
g. Nyeri/ Kenyamanan
Gejala: Abdomen yang tegang/ nyeri (sedang/ berat).
Tanda: Wajah meringis dengan palpitasi; tampak sangat berhati-hati.
h. Pernafasan
Gejala: Kekurangan oksigen, batuk dengan/ tanpa sputum purulen (tergantung adanya infeksi/ tidak).
Tanda: batuk, dengan/ sputum purulen (infeksi), frekuensi pernapasan.
i. Keamanan
Gejala: Kulit kering, gatal, ulkus kulit.
Tanda: Demam, diaforesis, kulit rusak, lesi/ ulserasi, menurun kekuatan umum/ rentang gerak, parastesia/ paralisis otot termasuk otot pernafasan (jika kadar kalium menurun dengan cukup tajam).
j. Seksualitas
Gejala: raba vagina (cenderung infeksi), masalah impoten pada pria, kesulitan orgasme pada wanita.
k. Penyuluhan
Gejala: Faktor resiko keluarga: DM, stroke, hipertensi, penyembuhan yang lambat, penggunaan obat seperti steroid, diuretik (tiazid): dilantin dan fenobarbital (dapat meningkatkan kadar glukosa darah), menggunakan obat diabetik.
Tanda: Memerlukan bantuan dan pengaturan diet, pengobatan, perawatan diri, pemantauan glukosa darah.
l. Test Diagnostik
Beberapa tes yang di lakukan yaitru glokosa darah: meningkat 100-200 mg/dl atau lebih, aseton plasma (keton): positif secara mencolok, asam lemak bebas: kadar lipid dan kolesterol meningkat, urin: gula dan aseton positif: berat jenis dan osmolaritas mungkin meningkat, Tes Toleransi Glukosa (TTG) memanjang (≥ 200mg/dl) untuk pasien yang kadar glukosa meningkat dibawah kondisi stress, hemoglobin glikosilat diatas rentang normal untuk mengukur presentase, glukosa yang melekat pada hemoglobin rentang normal 5-6% (Doenges, M. E, et al, 2000).
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut NANDA diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga atau masyarakat sebagai akibat dari masalah kesehatan atau proses kehidupan yang aktual atau potensial (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008).
Diagnosa keperawatan Diabetes Melitus meliputi :
a. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan defisiensi insulin.
c. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan kadar glukosa tinggi, penurunan fungsi leukosit.
d. Resiko tinggi terhadap perubahan sensori perseptual berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/ insulin dan elektrolit..
e. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik, perubahan kimia darah: insufisensi insulin.
f. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/ progressif yang tidak dapat diobati.
g. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai penyakit, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan/ mengingat, kesalahan interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi (Doenges, M. E, et. Al, 2000).
3. Perencanaan Keperawatan
Perencanakan merupakan proses penyusunan berbagai intervensi keperawatan yang di butuhkan untuk mencegah, menurunkan atau mengurangi masalah-masalah klien. Perencanaan ini merupakan langkah ketiga dalam membuat suatu proses keperawatan (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008).
Perencanaan keperawatan Diabetes Melitus meliputi:
a. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik.
Tujuan: Volume cairan terpenuhi.
Kriteria hasil: Mempertahankan volume cairan yang adekuat dan keseimbangan elektrolit, turgor kulit normal, hidrasi adekuat, TTV stabil, pengisian kapiler baik.
Intervensi:
Mandiri:
1) Pantau TTV.
R/: hipovolemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia. Perkiraan berat ringannya hipovolemia ketika tekanan darah sistolik pasien turun lebih dari 10 mmHg dari posisi berbaring keposisi duduk/ berdiri.
2) Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa.
R/: merupakan indikator dari tingkat dehidrasi, atau volume sirkulasi yang adekuat.
3) Ukur masukan dan pengeluaran, catat berat jenis urin.
R/: memberikan perkiraan kebutuhan akan cairab pengganti, fungsi ginjal, dan keeektifan dari terapi yang diberikan.
Kolaborasi:
4) Berikan terapi cairan dan elektrolit sesuai indikasi.
R/: tipe dan jumlah dari cairan tergantung pada derajad kekurangan cairan dan respon pasien secara individual.
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan defisiensi insulin.
Tujuan: Klien dapat mempertahankan nutrisi yang adekuat.
Kriteria hasil: BB ideal.
Intervensi:
Mandiri:
1) Timbang berat badan.
R/: mengkaji pemasukan makanan yang adekuta (absorpsi dan utilisasinya).
2) Tentukan program diet dan pola makan klien.
R/: mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik.
3) Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen, kembung, mual, muntahan makanan yang belum dicerna.
R/: hiperglikemia dan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat menurunkan motilitas/ fungsi lambung (distensi/ ileus paralitik).
4) Berikan makanan yang mengandung nutrient dan elektrolit.
R/: pemberian makanan melalui oral lebih baik jika pasien sadar dan fungsi gasrtointestinal baik.
5) Identifikasi makanan yang di sukai/ tidak di sukai.
R/: jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makanan, kerjasama ini dapat diupayakan setelah pulang.
6) Observasi tanda-tanda hiperglikemia, seperti perubahan tingkat kesadaran, kulit lembab/ dingin, denyut nadi cepat, peka rangsangan, cemas, sakit kepala.
R/: metabolisme karbihidrat mulai terjadi (gula darah akan berkurang, dan sementara tetap diberikan insulin maka hipoglikemia dapat terjadi).
Kolaborasi:
7) Kolaborasi dalam pemeriksaan gula darah.
Rasionalisasi: gula darah akan menurun perlahan dengan penggantian cairan dan terapi insulin terkontriol.
8) Kolaborasi dengan ahli gizi dalam pengaturan diet.
R/: sangat bermanfaat dalam perhitungan dan penyesuain diet untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.
c. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan peningkatan kadar glukosa.
Tujuan: tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil: TTV dalam batas normal, tanda-tanda infeksi tidak ada, nilai leukosit dalam batas normal (4000-10000/ mm3).
Intervensi:
Mandiri:
1) Observasi tanda-tanda infeksi (rubor, dolor, calor, tumor, fungsiolaesa).
R/: pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan keadaan ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi nasokomial.
2) Pertahankan tehnik aseptik pada prosedur invasif.
R/: kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi media terbaik bagi pertumbuhan kuman.
Kolaborasi:
3) Observasi hasil laboratorium (leukosit).
R/: gula darah akan menurun perlahan dengan penggantian caairan dan terapi insulin terkontrol.
4) Kolaborasi dalam pemberian antibiotik sesuai indikasi.
R/: penanganan awal dapat membantu mencegah terjadinnya sepsis.
d. Resiko tinggi terhadap perubahan sensori perseptual berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/ insulin dan elektrolit.
Tujuan: tidak terjadi perubahan sensori perseptual.
Kriteria hasil: mempertahankan tingkat mental biasanya, mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakkan sensori.
Intervensi:
Mandiri:
1) Pantau dan tanda-tanda vital dan status mental.
R/: sebagai dasar untuk membandingkan temuan abnormal, seperti suhu yang meningkat dapat mempengaruhi fungsi mental.
2) Panggil pasien dengan nama, orientasikan kembali sesuai kebutuhannya.
R/: menurunkan kebingungan dan membantu untuk mempertahankan kontak dengan realitas.
3) Bantu pasien ambulasi dalam perubahan posisi.
R/: meningkatkan keamanan pasien terutama ketika rasa keseimbangan dipengaruhi.
e. Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik, perubahan kimia darah: insufisensi insulin.
Tujuan: tidak terjadi kelelahan akibat penurunan metabolik.
Kriteria hasil: Keluhan lelah tidak ada, dapat melakukan aktivitas secara mandiri.
Intervensi:
Mandiri:
1) Observasi TTV.
R/: mengidentifikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis.
2) Tingkatkan partisipasi klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai dengan yang dapat ditoleransi.
R/: meningkatkan kepercayaan diri/ harga diri yang positif sesuai tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi klien.
3) Diskusikan dengan klien kebutuhan akan aktivitas.
R/: pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan meskipun tingkat aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lemah.
4) Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup/ tanpa diganggu.
R/: mencegah kelelahan yang berlebihan.
f. Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/ progressif yang tidak dapat diobati, ketergantungan pada orang lain.
Tujuan: tidak terjadi ketidakberdayaan.
Kriteria hasil: mengakui perasaan putus asa, mengidentifikasi cara-cara sehat untuk menghadapi perasaaan, membantu dalam merencanakan perawatan sendiri dan secara mandiri mengambil tanggung jawab untuk aktivitas perawatan diri.
Intervensi:
Mandiri:
1) Anjurkan pasien/ keluarga untuk mengekspresikan perasaannya tentang perawatan dirumah sakit dan penyakitnya secara keseluruhan.
R/: mengidentifikasi area perhatiannya dan mudahkan cara pemecahan masalah.
2) Berikan kesempatan pada kelurga untuk mengekspresikan perhatiannya.
R/: meningkatkan perasaan terlibat dan memberikan kesempatan keluarga untuk memecahkan masalah.
3) Anjurkan pasien untuk membuat keputusan sehubungan dengan perawatannya.
R/: mengkomunikasikan pada pasien bahwa beberapa pengendalian dapat dilatih pada saat perawatan dilakukan.
4) Berikan dukungan pada pasien untuk ikut berperan serta dalam perawatan diri sendiri dan berikan umpan balik positif sesuai dengan usahat yang dilakukan.
R/: meningkatkan perasaan kontrol terhadap situasi.
g. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar), mengenai penyakit, prognosis, dan kenutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang pemajanan/ mengingat, kesalahan interpretasi informasi, tidak mengenal sumber informasi.
Tujuan: Klien mengerti tentang penyakit yang dideritanya.
Kriteria hasil: klien mengungkapkan pemahaman tentang penyakit, klien melakukan perubahan gaya hidup dan berpartisipasi dalam pengobatan.
Intervensi:
Mandiri:
1) Ciptakan lingkungan saling percaya dengan mendengarkan penuh perhatian, dan selalu ada untuk pasien.
R/: menanggapi dan memperhatikan perlu diciptakan sebelum pasien bersidia mengambil bagian dalam proses belajar.
2) Bekerja dengan pasien dalam menata tujuan belajar yang diharapkan.
R/: partisipasi dalam perencanaan meningkatkan antusia dan kerja sama pasien dengan prinsip-prinsip yang depalajari.
3) Pilih strategi belajar.
R/: penggunaan cara yang berbeda tentang mengakses informasi meningkatkan penyerapan pada individu yang belajar (Doengos, M. E, et. Al, 2000).
4. Pelaksanaan keperawatan
Tahap pelaksanaan merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan dengan melaksanakann berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan. Dalam tahap ini, perawat harus mengetahui berbagai hal di antaranya bahaya-bahaya fisik dan perlindungan pada klien, tehnik komunikasi, kemampuan dalam prosedur tindakan, pemahaman tentang hak-hak dari pasien serta dalam memahami tingkat perkembangan pasien. Dalam pelaksanaan rencana tindakan terdapat dua jenis tindakan, yaitu tindakan jenis mandiri dan tindakan kolaborasi (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008).
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan dengan cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak. Dalam melakukan evaluasi perawat seharusnya memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam memahami respon terhadap intervensi keperawatan, kemampuan menggambarkan kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan keperawatan pada kriteria hasil. Pada tahap evaluasi ini terdiri dari dua kegiatan yaitu kegiatan yang dilakukan dengan mengevaluasi sesama proses keperawatan berlangsung atau menilai dari respon klien disebut evaluasi proses, dan kegiatan melakukan evaluasi dengan target tujuan yang diharapkan disebut sebagai evaluasi hasil. Terdapat dua jenis evaluasi yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif .
Evaluasi formatif merupakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan respon segera. Sedangkan evaluasi sumatif merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status pasien pada waktu tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap perencanaan (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2008).
Adapun evaluasi akhir yang diharapkan antara lain:
a. Volume cairan teratasi.
b. Klien dapat mempertahankan nutrisi yang adekuat..
c. Tidak terjadi infeksi.
d. Tidak terjadi perubahan sensori perseptual.
e. Tidak terjadi kelelahan akibat penurunan metabolik.
f. Tidak terjadi ketidakberdayaan.
g. Klien mengerti tentang penyakit yang dideritanya.